Teristimewa untuk pendamping PIA.
Jangan malas. Itu berat. Kasihan mereka.
Di tengah kesibukan kuliah, aku berulang kali mendengar kalimat itu terlontar setiap kali bertemu dengan mereka.
“Kak, kapan Sekolah Minggu?”
“Kak, ayo Sekolah Minggu lagi”
“Terakhir Sekolah Minggu 2017 lho, kak”
“Udah berapa bulan enggak Sekolah Minggu lho, kak”
“Besok Minggu ya, kak”
Aku bingung harus senang atau sedih. Hatiku seolah ingin mewujudkan keinginan mereka namun belum mampu. Rasanya kegiatan begitu banyak sekali, kuliah begitu berat sekali. Pada akhirnya aku hanya bisa menjawab, “Iya, besok ya” kepada mereka. Kalimat itu berulang kali kuucapkan sampai seolah-seolah itu hanya menjadi sebuah janji, tanpa ada bukti yang berarti.
Suatu kali ketika hendak mengikuti Perayaan Ekaristi dan baru saja aku menginjakkan kaki di dalam Gereja, 2 (dua) orang anak menghampiriku secara tiba-tiba dan langsung mengatakan begini, “Kak, besok Sekolah Minggu ya”. Dengan raut wajah bingung aku hanya bisa membiarkan pertanyaan mereka menggantung tanpa ada jawaban.
Usai Perayaan Ekaristi, mereka menghampiriku lagi dan mengucapkan kalimat yang sama, “Kak, besok Sekolah Minggu ya”. Mereka mengatakan kalimat tersebut sembari memasang wajah penuh harap. Lalu pada akhirnya entah mengapa aku menjawab “Ya!” dengan mantap. Padahal aku tahu hari Minggu itu jadwalku sudah terisi oleh pertemuan yang lain yang juga tak kalah penting. Tapi entah mengapa aku memilih mereka ketimbang pertemuan yang katanya wajib itu.
Itu hari Sabtu. Malam itu aku langsung memberi kabar beberapa orang untuk mengikuti Sekolah Minggu, selebihnya kupikir akan lebih mudah ketika menghampiri mereka saat hari H. Sabtu malam itu aku sama sekali belum mendapatkan materi untuk disampaikan saat Sekolah Minggu.
Hari Minggu tiba. Dengan waktu yang sungguh singkat aku berusaha mencari materi yang sesuai untuk disampaikan pada mereka.
Waktu menunjukkan pukul 9.50 WIB, aku bergegas menuju lokasi dan belum ada yang datang. “Biasanya mereka datang jauh lebih awal”, batinku. Setelah menunggu beberapa saat dan tak kunjung ada yang datang, aku memutuskan untuk menjemput mereka satu per satu.
Setelah menghampiri dari rumah ke rumah, pada akhirnya Sekolah Minggu hari itu hanya dihadiri 2 (dua) orang anak. 2 (dua) orang anak yang Sabtu sebelumnya menghampiriku dan meminta ada Sekolah Minggu. Aku tidak tahu harus senang atau sedih mengajar Sekolah Minggu dengan anak yang hadir sesedikit itu.
Walau bagaimanapun, Sekolah Minggu tetap harus berjalan dengan 2 (dua) orang yang datang. Aku menyampaikan materi yang sudah kusiapkan sedari pagi. Di pertengahan kegiatan Sekolah Minggu itu aku iseng bertanya pada mereka begini, “Kenapa sih kok kalian pengen ada Sekolah Minggu?” Dengan spontan dan cepat mereka menjawab begini:
“Biar bisa ketemu Bintang, kak”
“Biar bisa ketemu Mbak Nia, kak”
“Biar bisa main”
Sontak aku terkejut dan trenyuh mendengar jawaban mereka. Ternyata mereka ingin diadakan Sekolah Minggu hanya karena satu alasan sederhana: rindu. Rindu bertemu dengan teman-temannya, rindu berkumpul dengan teman-temannya, rindu bermain bersama teman-temannya.
Setelah perbincangan singkat itu aku lalu berpikir,
“Jadi selama ini Sekolah Minggu yang kupikir hanya Sekolah di hari Minggu itu punya makna mendalam ya buat mereka? Tapi kenapa terkadang aku masih saja malas? Kenapa terkadang aku selalu berpikir “kok aku terus”? Kenapa terkadang aku selalu berpikir “kok hanya aku”? Kenapa terkadang aku sok merasa banyak kegiatan padahal sebetulnya hanya ingin istirahat sejenak?”
Kalimat yang mereka ucapkan di atas membuatku juga berpikir.
“Jadi kalau mereka tidak bertemu, kalau tidak ada Sekolah Minggu mungkin saja mereka bermain dengan teman-temannya yang lain ya. Mungkin saja mereka tidak aktif lagi dalam kegiatan lingkungan dan Gereja. Mungkin saja mereka sudah malas karena pendampingnya pun malas mengadakan Sekolah Minggu. Dan kemungkinan-kemungkinan yang lain…”
Cerita yang sungguh sederhana ini membuatku bertekad untuk berusaha meluangkan waktu demi mereka, demi anak-anak ini. Anak-anak yang aku yakini adalah generasi penerus Gereja. Iman mereka harus dipupuk sejak dini, sedikit demi sedikit. Mereka perlu tahu dan kenal siapa teman-temannya di lingkungan, wilayah, maupun Gereja. Mereka perlu ikut terlibat dalam kegiatan menggereja, sedikit demi sedikit. Aku rasa mereka perlu itu semua. Tapi kalau tidak ada wadahnya lalu bagaimana? Untuk itu para aktivis, para pendamping PIA, jangan lelah. Anak-anak ini membutuhkan kalian. Lihat saja semangatnya 2 (dua) orang anak yang kuceritakan di atas. Begitu luar biasa, bukan? Walau hanya berdua, Sekolah Minggu pun bisa. Oleh karena itu, jangan biarkan semangat mereka hilang direnggut kesibukan kalian, para aktivis. Jangan biarkan mereka pergi dan hilang dari Gereja karena menemukan kenyamanan di tempat lain. Sekali lagi, anak-anak ini adalah generasi penerus Gereja. Kalau mereka tidak diajak terlibat sejak dini dan mereka hilang secara perlahan, lalu siapa yang akan meneruskan Gereja? Jangan biarkan Gereja mati hanya karena generasinya pergi. Semangat selalu untukmu, para aktivis, para pendamping PIA! Jangan lupa Sekolah Minggu, ya. 🙂
Ikuti juga: Misa Online Setiap Minggu Pagi