Masyarakat Indonesia merindukan kehidupan yang harmonis, rukun, saling menghargai dan menghormati. Di Pulau Jawa, terlebih umat Katolik di Keuskupan Agung Semarang (KAS) secara khusus mengupayakan terwujudnya peradaban kasih dan Paroki Santa Maria Assumpta Gamping sebagai bagian dari KAS secara kontinu juga terlibat dalam komunikasi lintas iman dalam berbagai bentuk. Salah satu yang terus dilakukan oleh Gereja Santa Maria Assumpta Gamping adalah meningkatkan upaya mencintai kebudayaan lokal sebagai cara berkomunikasi lintas iman. Kebudayaan Jawa tidak hanya dimiliki oleh sebagian masyarakat Jawa semata namun sungguh dimiliki oleh seluruh masyarakat tanpa memandang latar belakang agama masing-masing. Situasi inilah yang diharapkan dapat menyatukan hati banyak orang untuk mewujudkan dinamika berbangsa dan bernegara yang hangat, harmonis, saling menghargai dan menghormati satu sama lain.
Sejalan dengan tujuan tersebut, pada hari Kamis, 30 September 2021 di halaman gereja Gamping telah dilangsungkan sarasehan budaya secara sederhana karena ketat dengan prokes pandemi dan terbatas pula oleh waktu. Sarasehan yang diinisiasi oleh paguyuban ex-mudika paroki Gamping dengan motor Bambang KSR ini juga diwarnai dengan musik sloka dari orang muda Katolik Gancahan yang dipimpin Bpk. Dasuki dan Bpk. Sugimin dan dihadiri umat paroki Gamping yang menjadi pelaku seni budaya di berbagai bidang.
Hadir sebagai pembicara dalam sarasehan budaya ini adalah beberapa tokoh seniman, dan praktisi seni budaya di Yogyakarta, antara lain Joko Dwi Handono (penulis skenario, novelis, dll), Whani Dharmawan (penulis, aktor), Marwoto (pelawak), Agus Kencrot (talent coach), dan Udik Suprianto (dagelan somplak, youtuber Digituin TV) dengan moderator Agus Becak Sunandar (pendamping seni tradisional). Para pembicara diajak untuk mensharingkan proses kreatifnya menuju keberhasilan mereka sebagai pelaku budaya saat ini serta pandangan mereka dalam menyikapi budaya dan agama.
Whani Dharmanan mengawali proses sharing dengan pengalamannya membantu Imung dengan menuliskan puisi Urip iku Urub. Inti dari puisi itu menyatakan bahwa Sabda Allah akan tinggal pada manusia yang hidup. Karena itu, jika ditinjau dari segitiga emas: agama, manusia, dan kebudayaan akan tampak ikatan tawar-menawar yang ketat atas ketiganya. Agama tidak mungkin tanpa manusia, sementara manusia juga tidak bisa hidup tanpa tatanan (agama dan budaya). Nilai-nilai dalam agama itu ketat, tetapi tidak ada dogma yang membuat agama ada persoalan dengan budaya, yang di dalamnya ada manusia. Konsili Vatikan II juga mendukung perkembangan manusia dan budaya. Tumbuhnya kesadaran holistik pada masa pandemi ini merupakan hal yang positif karena menatapkan setiap orang pada realitas hidup yang sama. Whani keberatan dengan istilah nguri-uri kabudayan, pernyataan ini seolah-olah menempatkan budaya (wayang) sebagai fosil, sementara yang ada sebenarnya wayang masih eksis, bahkan nilai-nilai keluhuran wayang dapat menggerakkan orang. Dalam Megatrend 2000 dinyatakan bahwa kesenian tradisional akan menduduki peran entertain pada saatnya. Karena itu perlu diupayakan membangun kesadaran, tidak angkuh karena ketimpangan. Ada istilah yang bisa dijadikan rujukan, yaitu mati sajroning urip, urip sajroning mati. Segala sesuatu harus diseimbangkan. Karena itu perlu proses membangun kolaborasi dengan semua pihak agar mewujudkan tata dunia yang lebih baik.
Sementara itu, Udik yang menjalani proses kreatifnya sejak kecil dalam bimbingan orangtuanya, melihat bahwa tidak ada sekat yang mampu mengikat orang dengan sangat baik selain kebudayaan. Agama adalah urusan individu, bagimu agamamu, bagiku agamaku. Karena itu kita tidak perlu menyinggung soal agama, apalagi mencari pembenaran atasnya. Sejarah telah memberi bukti bangsa Indonesia mampu membangun toleransi yang kuat sejak masa lampau. Ketika Panembahan Senopati membangun kerajaan Mataram surau ada banyak orang Hindu yang membantunya. Karena itu gapura masjid banyak yang berbentuk seperti pura. Di daerah Kudus, untuk menghormati orang Hindu tidak dilakukan penyembelihan lembu. Kiprahnya dalam seni budaya diwarnai dengan menjadi youtuber dan membuat Digituin TV sejak tahun 2013. Dalam kanal inilah segala kreasi dan ruang berkesenian itu ditumpahkan. Satu hal yang dia akui sebagai modal berkesenian adalah srawung atau bergaul dengan seniman atau praktisi seni budaya yang lain, misalnya jika mereka pentas perlu ditonton atau didukung.
Agus Kencrot yang kebetulan merupakan umat di Paroki Gamping menyatakan agar menjadi pelaku seni budaya yang sesungguhnya, seseorang harus berinteraksi dan bekerja sama dengan orang-orang berbeda agama, terutama Muslim sebagai mayoritas di Indonesia. Dalam hidup keseharian pun, hasil-hasil seni budaya sangat dekat kita lihat, di gereja Gamping misalnya, saat masuk gedung gereja ada patung (hasil seni pahat, seni patung), ada lektor (aspek teatrikal), ada mazmur/kor (seni musik) bahkan dimungkinkan untuk membuat drama atas peristiwa tertentu, misal kisah sengsara Yesus. Hasil seni budaya itu tidak lepas dari konteks seniman yang terus belajar dan bekerja tanpa memandang latar belakang agama. Jika ingin kreatif maka harus berani keluar dari zona nyamannya dan masuk kelompok-kelompok atau paguyuban seni budaya sesuai minatnya masing-masing.Untuk mengawali proses kerja sama bisa dilakukan sesuai tren terkini, misalnya komsos membuat festival film pendek tentang membangun kerukunan antaragama.
Joko Suprihono merupakan nama istimewa di balik keberhasilan film-film garapan Hanung Bramantyo, selain sebagai pemenang beberapa kejuaraan menulis novel atau skenario drama/ketoprak. Ketika diminta bersharing Joko mengawali dengan penelusuran kata wayang dari google. Wayang berasal dari kata ma-hyang, yang artinya menuju ke roh spiritual atau Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini bisa dimaknai dengan wayang membantu manusia menuju kedekatan pribadi dengan Tuhan. Wayang juga disebut dengan ringgit (miring dianggit). Dalam proses kreasinya Joko sangat dengat dengan spiritualitas wayang. Selain itu, Joko menyatakan bahwa seni teater bisa digunakan untuk mengeksplorasi aspek-aspek budaya. Kisah Srikandhi dalam Mahabarata misalnya bisa diturunkan dalam lakon teater sebagai dua pribadi Sri dan Kandhi yang menjadi laki-laki dan perempuan tetapi orangnya sama, pergumulan kisah hidupnya, pilihan hidupnya, dan sebagainya. Karena itu, saat berkarya apa pun harus dimaksimalkan bahkan “dianggap” sebagai agama sehingga memunculkan totalitas untuk menghasilkan satu karya yang besar.
Mengakhiri sharing pelaku seni budaya, Marwoto menyampaikan beberapa hal sedikit mengevaluasi pementasan wayang Wahyu Panuntun. Ketika kondisi tokoh sedang marah mengapa tidak mengambil kutipan Kitab Suci dan bukan semata pada kekayaan diksi dalang. Memang dalang harus tahu tentang gending, antawecana, dan sebagainya. Ada beberapa tokoh dalang yang mempunyai kekayaan cerita, pemahaman, dan gaya yang bisa dijadikan referensi untuk memperkaya karena ke depan pengembangan wayang masih sangat terbuka. Hal ini erat kaitannya dengan pertanyaan kritis kita, kebudayaan mau dibawa kemana? Semua aspek budaya perlu dipelajari terutama oleh para pelaku seni budaya itu sendiri, tentu saja dalam kebersamaan dengan banyak orang yang tidak dilandasi pada latar belakang agama. Beberapa hari lalu diluncurkan Desa Sadar Kerukunan Beragama dan Wakaf Uang Digital. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah mempunyai perhatian besar pada kerukunan antarumat beragama dan pengembangan budaya sebagai bagian tak terpisahkan. Budaya merupakan perekat virtual, lalu apa yang bisa kita buat? Mengakhiri paparan, Marwoto menyatakan bahwa Urip kuwi lelakon, urip kuwi ribet, ning mesthi bakal kelakon. Dalam mewujudkan kebudayaan yang baik, hasil tidak akan bohong, hasil tidak akan mengkhianati proses usaha yang dilakukan. (ve)

Ikuti juga: Misa Online Setiap Minggu Pagi